Keris sebagai monumental
Keris sebagai monumental. Berbagai bentuk keris telah diciptakan oleh para Mpu, baik itu berbentuk lurus maupun lekuk (luk). Bermacam-macam pula namanya. Ada yang bernama Pasopati, Paniwen, Tilam Upih, Tilam Sari, Jalak, Damar Murup, Jangkung, Pandawa, Sempana, Carangsoka, Sabuk Inten, Sengkelat, dan masih banyak lagi, yang itu semua merupakan kekayaan budaya Indonesia.
Menentukan jenis atau motif sebilah keris haruslah meneliti bentuk bilahan keris, serta ciri khas yang terdapat pada bilahan keris itu. Ciri khas yang utama adalah bentuk, lurus, atau lekuk (luk), kemudian teliti pada bagian bawah yang disebut sorsoran.
Karena pada bagian sorsoran inilah terdapat perlengkapan (ricikan) yang sangat berarti untuk menentukan nama keris itu sendiri. Banyak keris yang serupa tetapi tak sama, hanya karena berbeda ricikannya. Sedemikian lembut dan teliti nenek moyang kita dahulu menanamkan suatu makna dalam cipta karyanya. Sehingga budidayanya itu bermakna sosial spiritual yang adi luhung.
Pada awalnya para mpu kuno menciptakan keris dengan bentuk lurus dan sangat sederhana, belum banyak ragam hias maupun ricikannya. Keris-keris kuno berbentuk lurus, lebar, pendek, dan tebal. Khalayak umum menyebutnya keris Budha walaupun ada yang bermotif Jalak atau Bethok. Kalau itu motifnya Jalak dinamakan Jalak Budha kalau motifnya Bethok dinamakan Bethok Budha walau berbeda motif tetapi hampir sama dinamakan keris budha juga.
Keris Budha adalah monumental sikap dan greget nenek moyang pada zamannya yang sangat lugu dan sederhana. Lugu cara berfikir, lugu pula pendapatnya tentang orang lain. Merupakan filsafat hidup nenek moyang kita ajur ajer yang artinya dapat menyesuaikan diri dimana saja dan terhadap siapa saja.
Apa yang diciptakan oleh seorang Mpu dalam mewujudkan sebilah keris adalah suatu cetusan daya cipta yang diwujudkan oleh hentakan-hentakan palu di atas paron, sehingga terwujudlah detil-detil menifestasi maksud yang dipadatkan dalam bentuknya yang abstrak pada lempengan besi, baja, dan nikel (meteorik).
Pemadatan kehendak yang dirangkum dalam do'a yang khusuk seorang empu yang ahli tapa brata itu, maka akan terwujudlah suatu bilahan keris. Dengan ketekunan diupayakan timbulnya suatu bentuk gambar-gambar abstrak, ialah pamor pada bilahan keris dan ricikan pada sorsoran pangkal keris.
Keris Dapur Nagasampo (luk 13) serasah dari gonjo sampai ujung bilahan. Diketemukan di Vihara Kedung Batu, Semarang |
Merupakan suatu harapan yang penuh puja dan puji kehadirat Hyang Widhi. Sehingga terciptanya pamor "Hujan Emas" yang mengandung harapan siapapun yang memiliki keris berpamor Hujan Emas ini akan dipermudah mendapatkan rezeki.
Begitu pula dengan ricikan kembang kacang yang menempel ujungnya pada gandik bagi pemiliknya mempunyai daya pembungkam atau tutup mulut. Jika kembang kacang bungkem tersebut berada pada keris dapur Sempono, maka bernama Sempono Bungkem, yang baik sekali dimiliki oleh seorang pemimpin, pedagang, pembela perkara, dan politikus.
Motif sebilah keris itu sendiri sudah mengandung sesuatu makna tertentu, makna yang dileburkan oleh sang Mpu dalam bilahan keris dan harapan bagi pemesan keris tersebut. Karena terciptanya sebilah keris tiada lain dari perwujudan dua kehendak. Kehendak yang menginginkan keris dan diwujudkan oleh sang Mpu dan kreasi cipta karsanya dengan disertai doa yang penuh kekhusukan.
Perwujudan adalah monumental kehendak sang pemesan keris itu, bentuknya semacam lukisan abstrak. Suatu lukisan yang berbentuk unik, putih di atas dasar hitam legam bilahan keris. Corak lukisan yang memancarkan suatu kekuatan sugesti tertentu.
Terciptanya keris pusaka Kanjeng Kyai Nogososro adalah atas perintah Prabu Brawijaya di Kerajaan Majapahit kepada Mpu Supamandrangi. Adalah suatu sarana untuk menanggulangi bencana besar yang diduga bakal terjadi. Maka Mpu Supo menciptakan sebilah keris dengan motif Nogososro ; monumental suatu harapan untuk menguasai seribu macam bencana (naga dengan sisik emas sejumlah seribu).
Kenyataannya pemberontakan Adipati Blambangan itu terjadi juga ialah yang terkenal dengan nama Perang Paregrek, tetapi tidak berjalan lama dan juga tidak memakan korban yang terlalu banyak. Pemberontakan tersebut berhenti dengan terbunuhnya Adipati Blambangan.
Kemudian dikisahkan pula terciptanya keris pusaka Kanjeng Kyai Nogokumolo di Kerajaan Giling Wesi. Konon Prabu Budawaka memerintahkan kepada Mpu Janggito untuk menciptakan sebilah keris yang dapat menggambarkan suatu rasa syukur rakyat Giling Wesi atas terbebasnya dari bencana paceklik, kelaparan, dan wabah penyakit.
Tanggapan maksud titah Rajanya Mpu Janggito menciptakan sebilah keris dengan motif seekor naga melata dan di mulutnya mengulum sebutir permata atau kumala. Kemudian kerit tersebut dinamakan Kanjeng Kyai Nogokumolo.
Seperti disebutkan di atas ada pula sebilah keris yang bernama Sempono Bungkem, merupakan monumental terkuncinya mulut, berarti mengunci mulut seseorang lawan bicara si pemilik keris tersebut. Sehingga keris Sempono Bungkem lebih cocok untuk orang yang profesional sebagai pedagang, advokad, pemimpin, atau politikus.
Berbareng dengan perkembangan zaman, berkembang pula teknik pembuatan keris. Meskipun tidak meninggalkan pakem atau pedoman pokok, tetapi di sana-sini ada tambahan, khususnya pada bagian sorsoran ditambah dengan tempelan atau serasah emas dalam bentuk pohon merambat (lung), bunga anggrek, sebatang lidi, dan pada bagian cicaknya atau gonjo ditempelkan Gajah dan Singa yang terbuat dari emas juga.
Perkembangan dunia perkerisan itu tampak lebih subur pada zaman Kerajaan Mataram dalam pemerintahan Sultan Agung (1613 - 1645 M). Beliau telah membagi-bagikan keris sebagai tanda jasa seseorang prajurit yang telah berhasil dalam menjalankan tugas yang luar biasa untuk Sultan dan negara.
Keris yang dibagi-bagikan itu mempunyai ciri khas menurut derajat dan pangkat orang yang dianugerahinya, misalnya serasah lunglungan untuk orang yang mempunyai kedudukan sebagai Lurah keatas, kemudian serasah sebatang lidi untuk prajurit dan tamtama, sedangkan serasah bunga anggrek untuk kaum bangsawan atau kerabat Sultan, demikian pula Gajah Singa untuk para Pangeran atau anugerah tertinggi.
Dengan berkembangnya peradaban, maka bentuk monumental itu akan lebih tampak nyata. Karena bentuk hias keris itu sudah lebih mudah diartikan, selain dari pada itu tampak lebih indah. Bukan lagi hanya sebagai monumental tetapi sebagai tanda penghargaan atas suatu prestasi, bahkan sekarang dapat juga sebagai tanda persahabatan dengan Kepala Negara sahabat dan sebagai cinderamata. Tentu saja lebih mengutamakan keindahannya.
Bila kita menatap bilahan keris, maka kita seakan menemukan keindahan itu bertambah juga. Senjata sebagai alat membunuh atau melukai orang, tetapi bila diamati secara seksama mempunyai pancaran keindahan dan kedamaian.
Sulitlah untuk dipercaya jika keris itu konon pernah menjadi alat untuk membunuh, apa lagi kalau kita menyaksikan keris Naga. Sepintas memang seram, karena menggambarkan seekor naga yang melata berkelok-kelok, tetapi setelah kita amati ternyata mulutnya mengulum sebutir berlian atau emas. Berubahlah dari kesan seramnya menjadi indah.
Keris benar-benar merupakan karya seni yang mempunyai nilai tersendiri. Apa lagi kalau ditinjau dari sudut pandang batiniah. Ternyata keris tidak sekedar karya cipta seni saja, tetapi memiliki getaran-getaran daya magis yang memancar dari bilahannya, baik dari pamor, ricikan, maupun besinya.
Sedemikian sempurnanya para Mpu melahirkan karya seni yang padat informasi batiniah sekaligus senjata dan monumental.
Oleh : Ki Hudoyo Doyodipuro, Occ.
Komentar
Posting Komentar