Dunia pentas senda gurau
Dunia pentas senda gurau. Tidak banyak manusia yang menyadari betapa kiprahnyadi dunia ini sangat lucu tidak beda dengan perilaku anak-anak. Dengan mudahnya iblis memperdaya mereka, persis seperti orang tua mempermainkan anak kecil. Semakin diingatkan semakin menjauh ia dari kebenaran. Bukankan anak kecilpun demikian? Semakin dilarang semakin ngambek. Gara-gara teman bermainnya makan roti coklat, ia menangis sejadi-jadinya kepada bundanya karena menginginkan hal yang sama.
Kita orangtuapun berperilaku seperti itu, gara-gara tetangga kita memiliki rumah yang bagus, atau memiliki beberapa mobil, atau memiliki kekayaan yang melimpah, kita menjadi tidak bisa akrab atau bahkan membenci mereka. Padahal bila tetangga kita menjalani kehidupan yang lebih miskin dari kita, belum tentu kita bersedia mengurangi beban mereka. Bukankah lebih elok bila kita merasa bersyukur atau gembira, paling tidak merasa lega bahwa tetangga kita hidup berkecukupan. Dengan demikian kita tidak perlu merasa berkewajiban menolong beban kehidupannya.
Kalau diteliti lebih jauh, ini lebih parah dari perilaku anak kita tadi. Mereka tidak benci dengan teman bermainnya, tapi menangis dan mengadu pada kita orangtuanya. Seharusnya kita tidak membenci tetangga kita, tapi rajin meminta pada Allah, dan tidak harus menyimpan rasa tidak suka kepada mereka para tetangga kita itu. Rasa tidak suka dapat pula ditujukan pada saudara kita yang sukses, atau pada rekan kerja kita yang berhasil membina karir. Tanpa sadar terkadang kita menghubung-hubungkan kekayaan mereka dengan tindak korupsi, tindak sogok menyogok.
Inilah ironi manusia yang pertama. Kita tahu benar bahwa kita semua milik Allah, dan akan kembali kepada Nya. Saat kita dilahirkan kita tidak memiliki apapun juga. Tetapi anehnya watak yang paling sulit dihilangkan dari diri kita adalah keinginan untuk memiliki sesuatu yang dilihat dan didengar.
Sulit bagi kita untuk memahami bahwa yang ada pada kita hakikatnya tidak lebih dari barang titipan, barang pinjaman yang setiap saat dapat diminta kembali oleh Pemiliknya kapan saja. Karakter yang satu ini bahkan lebih kuat dari keinginan untuk menikmatinya. Bila sekedar ingin merasakan enaknya naik mobil, apa sulitnya naik taksi.
Kalau sekedar ingin makan enak, apa sulitnya pergi ke restaurant. Kalau sekedar ingin memakai baju mewahpun apa sulitnya pergi ke butik terkenal dan prestisius kemudian mencoba memakainya, tanpa harus membelinya. Kalau sekedar ingin merasakan naik pesawat terbang tidak akan sesulit bila kita berkeinginan memilikinya.
Penyakit yang satu ini bahkan terus membuat manusia seperti kehilangan tujuan hidupnya. Yang sudah memiliki TV 14" ingin yang 29". Yang sudah memiliki kijang pasti berangan-angan memiliki BMW Yang sudah memiliki deposito 1 milyar, pasti menginginkan buka usaha untuk melanggengkan kekayaanya. Dan seterusnya dan seterusnya. Intinya bila mungkin apa yang dilihat dan didengar manusia, tentang sesuatu yang dapat mengangkat martabat diri (menurut versinya) pasti ingin dimilikinya.
Padahal belum sempat mereka menikmati keinginan-keinginan tersebut mereka sudah mencanangkan keinginan baru yang lebih tinggi lagi. Belum sempat mensyukuri mobil kijang barunya, la sudah merencanakan beli marcedes bent versi terbaru hanya karena mendadak ia dipromosikan menjadi President Direktur perusahaan besar. Dalam hati, mereka menginginkan pujian sebagai orang yang sukses dalam berbagai bidang. Padahal jelas yang berhak dipuji hanya Allah saja.
Dalam sebuah hadist disebutkan, pujian itu selendang Allah, sungguh tak pantas manusia menginginkannya Kenapa harus memilikinya, kalau toh nantinya suka ataupun tidak ada yang mampu memaksa kita untuk melepaskannya. Ini sumber utama ketidakbahagiaan manusia, ingin memiliki segala sesuatu. Ini ironi yang kedua, tidak lucu memang, tapi cukup menyedihkan. Kenapa? Kita sering kesal melihat anak kita merasa tidak puas bila sekedar dipinjami mobil-mobilan anak tetangga, Padahal maunya dibelikan yang baru.
Bila kita perhatikan kehidupan orang kaya saat ini hampir mirip kehidupan orang tak berpunya tapi yakin setiap kebutuhannya dipenuhi Allah. Mereka tidak pernah lagi membawa uang dalam jumlah besar kecuali beberapa puluh ribu sekedar untuk uang parkir, uang bayar jalan tol atau uang bensin.
Setiap pembayaran (selain yang barusan disebutkan) dilakukan dengan kartu ATM atau kartu kredit. Sekalipun mereka memiliki kekayan puluhan milyar, tapi uang itu tidak pernah mereka pegang secara riil. Untuk belanja harian pakai kartu ATM, sedang untuk barang mewah pakai kartu kredit, untuk beli mobil mereka gunakan mekanisma transfer.
Lalu apa bedanya dengan orang biasa yang juga tidak pernah memegang banyak uang di tangannya, tapi setiap kebutuhannya dipenuhi oleh Allah. Yang terakhir adalah menang dalam menimbun pahala, bekal untuk pulang ke kampung akhirat, sementara yang pertama belum tentu demikian. Ini ironi manusia yang ketiga .
Mengapa manusia menginginkan kehidupan yang serba mewah dan wah, bila semua itu tidak menjamin kita terbebas dari persoalan hidup. Tidak ada satu keluarga pun yang terbebas dari problema kehidupan. Tidak yang kaya tidak juga yang miskin.Tidak pejabat tinggi tidak juga rakyat kecil. Tidak orangtua tidak anak muda. Tidak Direktur tidak juga cleaning service. Tidak manusia modern, tidak juga manusia zaman dulu.
Tidak umat tidak pula Rasul Allah. Bila manusia menyadari hal ini, tentu kita tidak perlu ngoyo. Mereka yang kaya raya tidak kalah rumit dengan persoalan mereka yang hidup dengan pas-pasan. Makan serba enak ternyata mengundang berjangkitnya penyakit seperti kolesterol tinggi, diabetes, tekanan darah meninggi.
Mereka lupa bahwa organ-orang tubuh bila dibombardir dengan makanan-makanan lezat yang umumnya berlemak dan kurang berserat, akan mempercepat kerusakan orang-organ tubuh. Belum lagi kehidupan mereka mudah terseret dalam kehidupan jetset yang akrab dengan minuman keras, narkoba, kehidupan malam dan prostitusi. Bila ingin tetap dipandang masuk kelompok modern mereka tidak bisa tidak harus mau ikut dalam gaya kehidupan semacam itu.
Yang tidak memiliki landasan aqidah yang kuat dengan mudahnya terseret dalam kehidupan sesat. Manusia bila sudah cinta dunia dan emoh mati cenderung bergerak menuju kondisi seperti itu. Manusia itu piawai dalam hal bagaimana menikmati kehidupan dunia, tetapi bodoh dan lalai dalam hal bagaimana mempersiapakan kehidupan akhiratnya.
Gagal mempersiapkan diri sama artinya 50% mempersiapkan kegagalan. Tidak beda dengan anak kelas 6 SD yang lebih memilih bermain-main sepuasnya dari pada giat belajar mempersiapkan masa depannya. Kita bahkan lebih parah dari mereka, karena sementara kita sering berceramah seperti ini, mereka boleh dibilang tidak pernah melakukannya. Ini ironi manusia yang keempat.
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? - QS : 6-32
Generasi terdahulu seperti misalnya kehidupan para sahabat, sungguh dapat kita jadikan contoh dalam menjalani kehidupan ini. Mereka sangat paham bahwa kehidupan dunia ini penuh dengan senda gurau. Abdur Rachman bin Auf, salah seorang konglomerat di zaman Rasulullah, sedemikian khawatir dengan pengaruh kemewahan dunia, menyerahkan seluruh hartanya untuk pendanaan perang.
Dia merasa terlepas dari tetek bengek keharusan mengurus bisnisnya. Allah memang seperti sengaja menitipkan kekayaan melimpah padanya, sehingga saat dia membalikkan sebuah batu, ditemukanlah keping-keping emas dalam jumlah banyak.
Kembali dia berurusan dengan kekayaan. Akhirnya is tunjuk seorang sahabat lain untuk mengurus amanah tersebut agar ia bisa lebih leluasa beribadah kepada Allah. Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, keempatnya sempat saling menghindar dari jabatan Khalifah, sebuah jabatan yang mungkin melebihi kedudukan presiden saat ini. Karena saat itu jabatan khalifah termasuk mengelola negara taklukan. Satu-satunya yang mampu membuat mereka rela menerima kedudukan tersebut adalah tuntutan tanggung jawab. Mereka sedemikian ketakutan saat menerima amanah tersebut.
Kehidupan mereka justru menjadi jauh lebih sederhana dibanding sebelum menjabat sebagai khalifah. Umar bin Abdul Aztz yang merupakan cucu sahabat Umar, sempat disangka pedagang miskin karena penampilannya yang sedemikian sederhana. padahal sebelum itu ia adalah seorang menantu jutawan dengan kekayaan melimpah. Karena jabatan tersebut, la harus bersikap hati-hati, agar jangan sampai orang berpendapat kehidupannya yang serba cukup dikarenakan jabatannya tersebut. Hampir saja istrinya keberatan mengikuti gaya hidup sederhana yang ditawarkannya.
Maklum istrinya terbiasa hidup mewah. Bandingkan dengan tingkah polah umat muslim modern yang seakan berebut kedudukan dan harta. Bagi mereka berlaku semboyan "bersyukur dalam menghadapi kemiskinan dan bersabar dalam menghadapi kenikmatan dan kekuasaan dan bukan sebaliknya.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesualu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". OS 2:216.
Komentar
Posting Komentar