Allah Maha Bijak Maha Adil dan Maha Mengetahui
Allah Maha Bijak Maha Adil dan Maha Mengetahui. Bila kita paham betul bahwa Allah Maha Pemberi, Maha Penyayang, Maha Bijak dan Maha Adil, kehidupan kita tidak dipenuhi kegelisahan. Sungguh rileks dan ringan, tanpa harus kehilangan peluang masuk syurga dan hidup bahagia. Kita tak perlu punya uang banyak bila saat memerlukan sesuatu Allah mengulurkan bantuan. Tak perlu punya rumah bagus kalau rumah yang ada sudah cukup melindungi kita dari panas terik, hawa panas dan dingin serta hembusan angin.
Tak perlu punya mobil bila setiap kita mau kita bisa naik mobil. Tak perlu makan daging tiap hari bila tiap ingin makan enak selalu tersedia. Makan daging tiap hari toh tidak baik untuk kesehatan. Tak perlu minder karena tidak mampu beramal lewat kekayaan, karena Allah tak mungkin menuntut demikian.
Kesabaran kita dalam menjalani kehidupan yang serba kekurangan sudah merupakan potensi untuk menimbun pahala yang mampu mengantarkan kita ke surga. Insya Allah. Tak perlu cemas dengan kehidupan anak cucu kita kelak. Allah.
Maha pemberi rizki. Buktinya sejauh ini kita tak pernah tidak makan dua hari berturut-turut, kecuali bulan puasa atau disuruh dokter karena keperluan medis. Kita dengan seluruh problema yang melekat sungguh milik Allah dan akan kembali kepadaNya.
Tak perlu risau tentang masa depan anak cucu kita, Allah menjamin kehidupannya. Tak perlu risau bila anak menjadi sedemikian durhaka sepanjang kita sudah mendidiknya dengan sungguh-sungguh. Keikhlasan kita menghadapi semua itu sudah merupakan prestasi bagus dihadapan Allah.
Tak perlu menjadi kaya bila dengan kekayaan itu kita justru menjadi bakhil dan gelisah. Tak perlu menjadi terkenal bila karenanya kita menjadi tidak bebas. Tak perlu terlihat begitu alim dimata orang bila karenanya justru membuat kita menjadi ujub dan cenderung riya'.
Tak perlu risau bila anak kita cacat, bodoh, tak berjodoh, miskin dan kita tak berdaya? Allah akan mengambil alih tanggung jawab itu. Seharusnya memang demikian. Tidak seharusnya beban seberat itu coba kita pikul. Kapasitas kita hanya berusaha sungguh-sungguh, meluruskan niat dan bertawakal.
Karena hasilnya 100% hak prerogatif (veto) Allah. Bukankah Allah sendiri tak pernah menuntut hambaNya tentang hasil? Kita hanya dituntut ikhlas dalam menerima nasib yang bagaimanapun. Pendek kata, kita tidak perlu terkesan baik di mata manusia sepanjang dalam pandangan Allah kita sudah berusaha menjalankan apa-apa yang dianjurkan dan menjauhi apa yang dilarangNya.
Dalam menjalankan syariatNya tidak harus sempurna, tidak harus tanpa salah, sepanjang kita sudah berusaha dengan sungguh-sungguh menyempurnakannya. Allah memberi kompensasi ampunan untuk setup dosa yang kita lakukan sepanjang tidak gengsi memintanya.
Amal baik dan amal buruk pada awalnya sama sulitnya untuk dikerjakan, oleh karena itu perlu dibangun kebiasaan luhur dan mulia, sampai ia menjadi rutinitas dan menjadi sifat kedua kita. Awalnya kita sulit benar berbohong, tapi lambat laun menjadi ringan bila kita sering melakukannya. Bicara kasar awalnya mengejutkan nurani.
Tapi karena sering dilakukan, ia menjadi kebiasaan yang ringan dilakukan. Tersenyum pada setiap orang, beramal sholeh, berprasangka baik, sholat tahajud, puasa sunnah, sabar, memaafkan orang yang kita benci, ikhlas menerima kehidupan, hidup sederhana dan perilaku terpuji lainnya pada awalnya sangat-sangat berat dilakukan. Akan tetapi pada kesempatan berikutnya Allah memberikan kemudahan dan dukungan moril.
Tidak perlu takut gagal dan takut tidak sempurna juga tidak perlu takut bila mesti jatuh lagi ke tabiat yang lama. Sepanjang kita terus menerus ingin dan ingin bergerak kearah yang positif, peluang menjadi hamba Allah yang taat selalu terbuka.
Setiap kebaikan yang kita lakukan berbuah kebaikan baru. Pada dasarnya modal kita hanya niat baik, kemauan yang sungguh-sungguh dan keyakinan bahwa Allah merestui setiap kebaikan dan kesuksesan. That's all. Apalagi yang diperlukan? Biarlah Allah yang menyempurnakanNya.
Komentar
Posting Komentar